Rabu, 30 April 2014

Teori dan Komitmen


Lidjin Aulia (Asisten Faskab Sumedang).
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, bernegoisasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength) kepada masyarakat.
Hal yang tentunya tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Moh. Ali Aziz, dkk (2005 : 136) bahwa “Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.
Untuk memberdayakan masyarakat ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan yaitu : mobilisasi (Community mobilization), partisipasi masyarakat (Community participation), pembangunan berbasis masyarakat (Community development). Ketiga pendekatan ini, tentunya akan diarahkan pada dua tujuan pemberdayaan, yaitu : melepaskan masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan, yang dikenal sebagai pemberdayaan ekonomi masyarakat dan memperkuat posisi masyarakat dalam struktur kekuasaan, yang dikenal sebagai pemberdayaan politik masyarakat.
Banyaknya program pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat memiliki motif utama yakni sebagai program pengurangan kemiskinan dan pengangguran sebagai prioritas utama. Terbukti dengan banyaknya program pemberdayaan menyerap APBN yang begitu besar bagian dari upaya penguatan pemerintah terkonsentrasi pada program pemberdayaan. Hal menakjubkan sekali ini dilakukan oleh pemerintah daerah dengan spirit otonomi daerah dengan asumsi bahwa pemerintah daerah berhak mengelola anggaran keuangan daerah untuk kepentingan daerah, sehingga tujuan dari pada obyek (masyarakat) ini dengan secara tidak langsung memiliki segudang kesempatan mendapatkan kehidupan yang layak dan berdaya.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan menginstruksikan kepada seluruh Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan seluruh Lembaga Pemerintah Non Kementerian serta seluruh Gubenur, Bupati dan Walikota untuk melaksanakan program-program pembangunan yang berkeadilan, meliputi: (1) Program Pro Rakyat, (2) Keadilan untuk semua (Justice for All), (3) Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals - MDG’s).
Program pemberdayaan dilakukan secara berlapis sehingga mendorong rakyat miskin dapat mandiri. Hasilnya dapat dilihat data yang dilansir pemerintah bahwa berkurangnya angka kemiskinan dari 16,7 persen pada 2004 menjadi 13,3 persen pada 2010. Begitu juga angka pengangguran berkurang dari 9,9 persen pada 2004 menjadi 7,14 persen pada 2010. Pemerintah tetap memprioritaskan kerja penanggulangan kemiskinan sebagai berikut: Penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu dari 11 prioritas nasional, Sasaran utama penanggulangan kemiskinan adalah memperkuat program-program pro-rakyat melalui langkah-langkah keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan dan peningkatan lapangan pekerjaan.
Suatu usaha dapat dikatakan berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Disini subyek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat atau obyek saja, dalam hal ini tentu masyarakat.
“Sebagai seorang muslim, memang seharusnya kita menanamkan prinsip Khairunnaas anfa’uhum linnaas..(Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain). Apapun ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kita miliki akan lebih jauh bermanfaat jika kita salurkan ke sesama. Hal ini kita bisa kita terapkan lewat pemberdayaan masyarakat di lingkungan sekitar. Bentuk pemberdayaan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat dan analisis solusi permasalahan secara tepat serta komitmen yang terfokus pada tujuan pemberdayaan itu sendiri”

#dikutip dari berbagai sumber#

Emping Manis Produksi Desa Narimbang


Nunung @qihira  (sumber data dari UPK Conggeang dan Ida Hamidah/FK Conggeang)
Kecamatan Conggeang terdiri atas 12 desa, salah satu desa yang cukup menarik untuk dipotret geliat perekenomiannya adalah Desa Narimbang. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kelompok pengrajin makanan yang menjadi sumber usaha dan pendapatan bagi rumah tangga dan keluarga, dan secara langsung cukup mempengaruhi kondisi perekonomian desa. Suasana di Desa Narimbang saat kita menginjakkan kaki di wilayah perdesaannya cukup hangat karena ada beberapa sudut lingkungan rumah tempat berkumpul warga yang sedang mengerjakan produksi industri rumahan. Industri rumahan yang yang ada di wilayah desa Narimbang antara lain ada kelompok pengrajin Keripik Singkong yang sudah dipasarkan atau memasok rutin ke pasar Cirebon, ada juga produsen kluwek yang mengolah buah picung menjadi kluwek, dan yang menarik adalah produsen Emping, emping adalah penganan kering yang berbentuk tipis diberi balutan bumbu berasa manis, asem, dan pedas. Emping dibuat dari buah melinjo yang diproses dengan cara pengupasan, penyangraian, pengelupasan, pengepresan, penjemuran, penggorengan, dan diberi bumbu. Dari buah melinjo selain buahnya, kulitnya pun dapat dimanfaatkan menjadi penganan yang menarik yang oleh masyarakat setempat diberi nama “Ketring” atau “Jaket Kering”. Salah satu pengrajin Emping Melinjo adalah Ibu Iis sebagai Ketua Kelompok Citra Sari I, setiap hari dapat memproduksi emping melinjo sebanyak 100 - 150 kg, dan mempekerjakan masyarakat setempat sebanyak 23 orang, sebagian besar adalah kaum perempuan. 


Mereka bekerja setiap hari dengan mendapatkan upah secara borongan/kelompok, dimana per kelompok harus melakukan proses pengolahan dengan upah per orang sebesar Rp 20.000. Rata-rata produksi emping per hari adalah sebanyak 100 – 150 kgyang dipasarkan di wilayah Desa, Kecamatan, dan sampai ke Cirebon. Pengusaha ini mendapatkan pinjaman dari UPK Conggeang, dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 30.000.000 dan memiliki jumlah anggota kelompok sebanyak 10 orang. Dan sudah mendapatkan pinjaman sebanyak 5 kali. Pinjaman dari UPK digunakan untuk menambah modal dalam hal pembelian bahan baku yaitu buah melinjo yang dibeli dari masyarakat sekitar untuk produk lokal dan dari luar seperti dari Banten dan wilayah lainnya di pulau Jawa, untuk ketersediaan bahan baku sudah ada pemasok buah melinjo yang rutin mengirim ke desa Narimbang. Pinjaman dari UPK sudah memberikan manfaat yaitu meningkatkan jumlah produksi, yang semula hanya memproduksi 60 - 90 kg per minggu sekarang sudah dapat memproduksi 600 kg per minggu. Pada tahun 2006 – 2014, kelompok ini pernah mendapatkan pinjaman dari Telkomsel Rp. 60.000.000,-.
Kelompok ini memperoleh omzet penjualan per bulan sebesar Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 70.000.000, dengan keuntungan yang diperoleh selama sebesar10-30%. Keberadaan kelompok pengusaha emping ini telah menjadi andalan bagi masyarakat setempat dalam hal penyediaan lapangan kerja sehingga kaum perempuan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan di wilayah desanya sendiri dan sudah dapat menambah penghasilan bagi masing2 keluarga anggota kelompok ini.